Artikel – Wacana menjadikan hak pilih sebagai kewajiban memilih dalam pemilu kembali mencuat. Sebagian menilai gagasan ini bertentangan dengan esensi demokrasi yang memberikan kebebasan individu. Namun sebagian lain melihatnya sebagai langkah penting untuk memperkuat partisipasi politik dan kesadaran warga negara.
Salah seorang Peneliti KIPP, menegaskan bahwa sejatinya demokrasi memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menggunakan hak pilih, bukan menjadikannya kewajiban. Pandangan ini berpijak pada prinsip liberal bahwa kebebasan individu adalah fondasi demokrasi. Namun, jika dilihat dari perspektif antropologi politik, demokrasi tidak hanya berbicara tentang hak individu, tetapi juga tanggung jawab sosial dalam kehidupan bersama.
Demokrasi Sebagai Produk Budaya
Antropologi memahami demokrasi bukan semata sistem politik, tetapi produk budaya yang hidup dalam nilai, simbol, dan praktik sosial masyarakat. Dalam konteks Indonesia, demokrasi berakar pada budaya gotong royong, musyawarah, dan tanggung jawab kolektif.
Dalam masyarakat yang menempatkan kebersamaan sebagai nilai utama, partisipasi politik tidak hanya dilihat sebagai hak pribadi, tetapi juga sebagai tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, wacana menjadikan hak pilih sebagai wajib pilih dapat dimaknai sebagai upaya membangun budaya partisipatif, bukan sekadar bentuk pemaksaan negara terhadap individu.
Mencegah Budaya Pembiaran
Wajib memilih juga bisa dibaca sebagai strategi mencegah budaya pembiaran — sikap pasif warga terhadap proses politik. Ketika partisipasi rendah, ruang kosong itu kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk melakukan manipulasi suara. Dalam jangka panjang, sikap tidak peduli seperti ini dapat melahirkan bentuk-bentuk kecil dari perilaku koruptif: membiarkan penyimpangan terjadi tanpa merasa ikut bertanggung jawab.
Dari perspektif antropologi, perilaku semacam itu merupakan gejala melemahnya kesadaran kolektif. Dengan menjadikan memilih sebagai kewajiban, masyarakat didorong untuk memahami bahwa setiap suara yang diberikan merupakan kontribusi moral terhadap keberlangsungan bangsa.
Kebebasan dalam Bingkai Tanggung Jawab
Kebebasan yang sejati bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Dalam sistem nilai masyarakat Indonesia, kebebasan selalu diimbangi oleh kesadaran kolektif untuk menjaga harmoni. Maka, menjadikan memilih sebagai kewajiban bukan berarti meniadakan kebebasan, tetapi menempatkannya dalam kerangka tanggung jawab sosial.
Bagi antropologi, pemilu bukan sekadar ajang politik, melainkan ritual sosial momen di mana warga negara menegaskan eksistensi mereka dalam kehidupan berbangsa. Absen dari ritual ini bisa dimaknai sebagai penarikan diri dari ikatan sosial dan politik bersama.
Menumbuhkan Kesadaran Kolektif
Pada akhirnya, wacana menjadikan hak pilih sebagai wajib pilih bukan sekadar perdebatan normatif, melainkan bagian dari upaya menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan sistem politik berjalan sehat dan akuntabel.
Demokrasi sejati bukan hanya tentang kebebasan untuk memilih, tetapi juga tentang kesediaan untuk berpartisipasi. Suara yang diberikan bukan sekadar hak individu, melainkan bentuk partisipasi aktif dalam menjaga masa depan bangsa dan menolak budaya diam yang membiarkan penyimpangan tumbuh dalam senyap.
Penulis: Muh. Arman Alwi
Alumni Antropologi, FISIP Universitas Hasanuddin










