Kota Tangerang – Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Rawa Kucing di Jl. Iskandar Muda Kelurahan Kedaung Wetan Kecamatan Neglasari Kota Tangerang beroperasi sejak tahun 1992 atau kini telah genap berusia 32 Tahun.
TPA Rawa Kucing memiliki luas area hampir 35 hektare atau 34,8 hektare yang menampung sampah dari 13 Kecamatan dan 104 Kelurahan sekira 1.600 ton setiap harinya dengan ketinggian timbunan sampah yang telah mencapai 25 Meter lebih atau sudah sangat Overload.
Dengan volume sampah harian yang terus meningkat dan daya tampung TPA Rawa Kucing yang terbatas, bila penanganan TPA Rawa Kucing tidak dikelola dengan baik, masalah sampah menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun di Kota Akhlaqul Karimah.
Sejak awal menjadi tempat pembuangan sampah, TPA Rawa Kucing hanya sekadar untuk membuang sampah (open dumping). Kemudian pada tahun 2017-2018, pemrosesan penanganan sampah mulai dilakukan rehabilitasi di TPA Rawa Kucing dengan menerapkan sistem sanitary landfill.
Sementara penanganan air lindi dari sampah itu menggunakan cover soil dan unit pengolahan lindi (UPL) yang berfungsi mengolah air yang keluar dari sampah busuk agar tidak mencemari lingkungan.
Potensi Longsor
Infiltrasi air hujan melalui rongga pada material sampah yang tidak terpadatkan dengan baik dan melalui batas antara timbunan dan lereng batuan serta tanah dasar yang kedap air membentuk muka air (water table) pada batas dasar timbunan sampah dan lapisan batu atau tanah dasar.
Proses penjenuhan dan pembentukan muka air ini menyebabkan pelunakan lapisan bawah timbunan sehingga tidak mampu menopang berat beban timbunan di atasnya sehingga terjadi longsor.
Oleh karena itu, adanya sistem drainase air resapan dan air permukaan yang baik merupakan suatu keharusan pada suatu TPA untuk mencegah pembentukan muka air di dalam timbunan sampah.
Timbunan sampah yang terlalu tinggi dari lapisan batuan/tanah dasar dapat menimbulkan beban berlebih di bagian bawah timbunan sehingga dapat mengganggu kestabilan timbunan tersebut di saat musim hujan.
Bau dan Potensi Kebakaran
Pembuangan sampah sistem open dumping di lokasi TPA mengakibatkan gas hasil dekomposisi seperti gas Hidrogen Sulfida (H2S), Metan (CH4), dan Amoniak (NH3) lepas ke udara. Akibatnya udara sekitar TPA menjadi bau dan kualitas udara ambien menurun.
Bau seperti telur busuk yang terdapat di TPA bersumber dari H2S yang merupakan hasil samping penguraian zat organik. Persentase gas H2S yang dihasilkan dari TPA berkisar antara 0-0,2% .
Hidrogen Sulfida atau Asam Sulfida merupakan suatu gas tidak berwarna, mudah terbakar, dan sangat beracun.
Gas ini dapat dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan manusia, terutama jika terpapar melalui udara.
Gas H2S dengan cepat diserap oleh paru-paru, pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan hilangnya kesadaran bahkan kematian.
Selain itu, saat musim panas apabila Gas metan di TPA tidak dikelola dengan baik, seperti kurangnya Pipa-pipa gas metan, atau tidak adanya tangkapan gas metan, maka berpotensi terjadinya kebakaran bahkan ledakan.
Ledakan yang terjadi karena gas metana (CH4) yang dihasilkan sampah organik bereaksi dengan udara. Saat ton demi ton sampah dibiarkan menggunung dan tidak mendapat paparan oksigen, metanogen muncul dan tersimpan di bawah permukaan sampah.
Gas metana sendiri memiliki sifat mudah terbakar, mampu meledak seperti bom, sehingga tak mengherankan jika di tempat pembuangan sampah kerap terjadi kebakaran.
Buktinya, pada Jum’at 20 Oktober 2023 lalu Kobaran api di gunung sampah menghanguskan sekira 80 persen atau 27 hektare dari 34,8 hektare total luas lahan TPA Rawa Kucing. Imbas dari kebakaran ini, sebanyak 154 warga sekitar TPA Rawa Kucing terdampak harus mengungsi.
Tantangan
Prinsip Polluters Pay dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih minim ter-implementasikan. Masyarakat masih lemah tanggungjawabnya terhadap sampah yang mereka hasilkan, minim usaha mengurangi dan mengolah sampah.
Sejauh ini implementasi UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah masih terkendala banyak hal, diantaranya adalah sulitnya mengubah Paradigma yang berkembang masih Kumpul-Angkut-Buang, belum Reduce, Reuse, dan Recycle (3R). Untuk itu perlu digencarkan kembali intensitas edukasi Komunikasi Perubahan Perilaku.
Mimpi Itu Bernama PSEL
Kota Tangerang ditunjuk menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional yang akan melakukan pengelolaan sampah melalui Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) sebagai proyek pengolahan sampah berteknologi ramah lingkungan di Kota Tangerang.
Meskipun PT. Oligo Infrastruktur Indonesia (OII) telah ditetapkan sebagai pemenang Beauty Contest pada 2019 yang lalu, namun secara resmi penandatanganan Kerjasama antara Pemerintah Kota Tangerang dengan anak Perusahaan PT. Oligo Infrastruktur Indonesia (OII) yaitu PT. Oligo Infra Swarna Nusantara (OISN) baru dilangsungkan pada tanggal 9 Maret tahun 2022.
PT Oligo Infrastruktur Indonesia (OII) hanya bertindak sebagai pemegang saham. Yang akan resmi bertindak dan telah menandatangani Perjanjian Kerjasama adalah anak perusahaanya yaitu PT. Oligo Infra Swarna Nusantara (OISN).
Perjanjian Kerjasama yang berlangsung di kantor Kemenko Marives tersebut memiliki nilai Investasi sebesar Rp 2,585 triliun atau setara dengan 184,65 juta dolar AS.
Dalam Proyek PSEL tersebut Pemerintah Kota Tangerang harus membayar tipping fee sebesar Rp310 ribu per ton sampah yang bersumber anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dengan kontrak kerja selama 25 Tahun.
Proyek ini memang menjadi salah satu amanat Peraturan Presiden (Perpres) No.35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PSEL) yang berfokus kepada 12 Kota besar di Indonesia salahsatunya Kota Tangerang.
Menimbang adanya ketentuan pembatasan ketinggian bangunan di seluruh wilayah administrasi Kota Tangerang yang termasuk dalam Kawasan Keselamatan dan Operasi Penerbangan (KKOP) Bandar Udara Soekarno Hatta, maka proyek ini akan dikembangkan pada dua lokasi yaitu di lokasi TPA Rawa Kucing dan Jatiuwung.
Untuk lokasi yang di TPA Rawa Kucing akan dibangun sistem pengolahan sampah yang menghasilkan Refused Derived Fuel (RDF) dan fasilitas pengolahan biologis Anaerobic Digester (AD) yang dilengkapi dengan unit pembangkit panas dan listrik dari biogas. Kapasitas pengolahan sampah di TPA Rawa Kucing mampu mencapai 2.200 ton per hari, dan berpotensi membangkitkan daya listrik sampai dengan 13,5 MW.
Kemudian RDF yang dihasilkan di TPA Rawa Kucing digunakan sebagai bahan bakar dari pembangkit listrik thermal yang berada di lokasi kedua, yaitu di Kecamatan Jatiuwung yang dapat membangkitkan tenaga listrik sampai dengan 25 MW.
Keberadaan PSEL di Kota Tangerang memberikan harapan positif dari perspektif pengurangan volume sampah yang selama ini semakin menggunung dan menempatkan Kota Tangerang dalam situasi darurat sampah, hingga mengurangi kebutuhan lahan TPA, mengurangi dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta FABA (Fly Ash and Bottom Ash) yang dapat dimanfaatkan, melalui pengelolaan sampah yang menghasilkan listrik.
Proyek PSEL Gagal ?
Megaproyek ini ditargetkan akan mulai dibangun secara infrastrukturnya pada Juni tahun 2023 dan siap Beroperasi pada Juni tahun 2025, namun hingga tahun 2024 proyek PSEL diduga ‘stuck’ atau diduga belum adanya Progres infrastruktur atas proyek tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apabila Proyek PSEL yang dilaksanakan oleh anak Perusahaan dari PT. Oligo Infrastruktur Indonesia (OII) yaitu PT Oligo Infra Swarna Nusantara (OISN) tidak sesuai dengan yang ditargetkan untuk beroperasi pada Juni tahun 2025.
Apakah masih memungkinkan untuk dilakukan Addendum berupa perubahan atau penambahan penyesuaian target tersebut? atau ;
Terpaksa harus dilakukan Beauty Contest atau Lelang ulang atas proyek tersebut?
Masyarakat Kota Tangerang tentu menaruh harapan besar agar Proyek PSEL di Kota Tangerang dapat berjalan sesuai dengan Target yakni Beroperasi pada Juni Tahun 2025. [Fale Wali]