Pain Of Imprisonment-Penderitaan Di Balik Jeruji Besi
Oleh: Muhammad Fajar Ramadhan (Taruna Utama Politeknik Ilmu Pemasyarakatan)
Penjara merupakan inovasi yang relatif baru dalam sejarah umat manusia, seperti yang diamati oleh Foucault (1977), yang menggantikan bentuk-bentuk hukuman yang lazim digunakan sebelumnya, yang terutama ditujukan untuk menimbulkan kerugian fisik atau kematian, atau mengeluarkan narapidana dari masyarakat melalui transportasi dan pengusiran.
Gresham M. Sykes (1958) berpendapat bahwa lima perampasan hak mendasar menjadi ciri kehidupan sehari-hari di penjara, yang secara kolektif dikenal sebagai “Pain Of Imprisonment (rasa sakit di penjara).” Hal-hal tersebut adalah loss of Liberty, heterosexual relationships, desirable goods and services, security, and autonomy.
Menurut Sykes, dikarenakan perampasan hak ini menjelaskan mengapa para narapidana menganggap kehidupan di penjara tidak diinginkan. , lima penderitaan mendasar Sykes dalam penjara dibahas secara lebih rinci:
1. Loss Of Liberty (Perampasan Kebebasan)
Premis mendasar Lembaga Pemasyarakatan adalah menghilangkan atau membatasi kebebasan. Namun demikian, Sykes mencatat bahwa sebagian besar narapidana akan mengalami kelangkaan materi sehari-hari seperti rokok, variasi makanan, pakaian individu, furnitur, dan privasi.
Bisa dibilang, Sykes berpendapat, masyarakat mengutamakan harta benda sedemikian pentingnya sehingga kita mendefinisikan diri kita berdasarkan barang-barang yang kita konsumsi dan miliki, sehingga kehilangan kemampuan untuk membeli, menyimpan, atau menikmati sesuatu barang yang biasanya di konsumsi sehari-hari secara bersamaan merupakan kepedihan yang sangat besar bagi narapidana.
Dampak sekunder dari hilangnya kebebasan termasuk putusnya ikatan dengan keluarga dan teman karena pembatasan atau kesulitan yang terkait dengan menerima pengunjung, akses informasi, atau melakukan panggilan telepon.
Lapas dapat membatasi ketersediaan telepon pada jam-jam tertentu dalam sehari, memantau panggilan, memutar pesan yang direkam sebelumnya sebelum panggilan untuk memberi tahu orang-orang bahwa panggilan tersebut berasal dari Lapas, membatasi total waktu telepon per minggu, dan menjual pulsa telepon dengan harga tinggi atau selangit. Dengan melemahkan ikatan sosial narapidana, penjara dapat meningkatkan kemungkinan narapidana akan melakukan pelanggaran kembali setelah dibebaskan.
2. Desirable goods and service (Perampasan Barang dan Jasa)
Ada dua faktor yang menentukan apakah perampasan barang dan jasa dapat dikatakan ada: pertama, standar hidup yang dinikmati narapidana sebelum dipenjara; kedua, tingkat pengetatan anggaran Lapas, yaitu kebijakan untuk mempertahankan fasilitas pemasyarakatan sederhana dengan memberikan tingkat kenyamanan yang paling memadai.
Narapidana yang sebelumnya miskin, tunawisma, dan menderita penggunaan narkoba mungkin akan merasakan manfaat dari ketersediaan tempat tinggal, pakaian, makanan teratur, dan layanan kesehatan, akan tetapi bagi narapidana yang awal nya Tingkat ekonominya tinggi mereka akan merasakan terbatasnya barang dan jasa yang dapat mereka terima.
Misalnya layanan kesehatan di dalam Lapas sangat berbeda dengan Layanan kesehatan di luar lapas Dimana layanan kesehatan di dalam lapas serba terbatas berbeda dengan layananan kesehatan diluar lapas yang sangat lengkap.
Para narapidana di dalam lapas juga biasanya diminta untuk mengikuti program pembinaan kegiatan kerja seperti barbershop atau karya tangan, dimana upah dari pekerjaan mereka sangat sedikit dibandingkan dengan bekerja diluar Lapas dikarenakan untung dari hasil kerja mereka harus di bagi ke pihak Lapas.
3.Heterosexsual Relationship (Perampasan Hubungan Heteroseksual)
Sykes percaya bahwa hilangnya hubungan heteroseksual merupakan kerugian besar bagi narapidana. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan para narapidana tidak dapat menyalurkan hubungan seksual antara pria dan Wanita.
Hal ini sangat membuat para narapidana menderita secara psikologis Dimana dapat menyebabkan para narapidana mengalami masalah emosional, psikologis, dan fisik pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang cukup overcrowded.
Hilangnya hubungan social dapat menimbulkan ketegangan, kecemasan, dan resiko para narapidana menjadi homosesksual atau lesbian. perampasan hubungan heterosexsual dapat menyebapkan terjadi nya konflik ataupun kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
4.Autonomy (Perampasan Otonomi)
Narapidana mungkin kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan yang paling mendasar sekalipun dalam kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan mereka semua nya diatur oleh para petugas Pemasyarakatan seperti kapan harus makan dan makanan yang sudah diatur oleh pihak lapas Dimana para narapidana tidak memiliki hak untuk memlih menu apa yang mereka mau, semua kativitas yang dibatasi oleh pihak lapas.
Perampasan autonomi ini sangat berbahaya karena dapat melukai harga diri para narapidana melalui berbagai pemaksaan dan penghormatan yang di paksakan.
5.Securty (Perampasan Keamanan)
Penjara bisa menjadi tempat yang penuh kekerasan dan tidak aman serta menjadi sarang kejahatan. di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia Dimana para narapidana nya hampir di dominasi oleh para narapidana narkotika, pemakai, penyalur ataupun bandar narkoba yang berdampak pada marak nya transaksi narkoba di dalam lapas.
Penggunaan narkoba dapat berkontribusi terhadap ketidakamanan penjara karena para narapidana saat menggunakan narkotika sangat kurang dalam pengendalian diri, meningkatkan kekerasan. di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan juga kerap sekali terjadi pelecehan seksual di dalam lapas.
Overcapacity dapat juga menjadi alasan terjadi nya kekerasan di dalam Lembaga Pemasyarakatan terkadang para narapidana di dalam satu sel akan kekurangan tempat tidur bahkan sebagian besar narapidana di dalam sel tidur dalam posisi berdiri yang sering condong terjadi konflik di dalam sel dikarenakan perebutan posisi tempat tidur. selain itu di dalam lapas para narapidana cendrung membentung geng-geng Dimana jika para narapidana tidak memiliki geng akan berdampak terjadi nya Bullying.
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia sebagai tempat membina para narapidana sangat berpotensi menyebabkan para narapidana menjadi lebih baik atau pun menjadi sangat buruk Ketika sudah keluar dari penjara. hal ini disebabkan oleh budaya penjara, sarana dan prasarana lapas yang kurang untuk melakukan pembinaan.
Overkapasitas dan Narkotika merupakan masalah utama Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang sering kali menjadi pemicu konflik antar para narapidana. Penderitaan para narapidana di Indonesia dikarenakan pembatasan hak asasi mereka menjadi salah satu faktor terjadi kejahatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sehingga para narapidana ini saat mereka bebas dan kembali ke Masyarakat memiliki kemungkinan menjadi residivis dan pelaku kejahatan yang lebih besar. [red]
*Seluruh Tulisan Merupakan Karya Penulis Artikel