Artikel – Dunia Pendidikan kita saat ini sedang masuk masa-masa kritis, dilematis terhadap perilaku peserta didik, “kejamnya” sistem Pendidikan serta nilai kritis atas pengembangan peserta didik terhadap aspek Afektif, Kognitif dan psikomotorik.
Paradigma Pendidikan yang selama ini seakan menciptakan perilaku peserta didik seperti “robot” mendengarkan lalu melaksanakan tugas-tugas dan terjadi pengulangan, meskipun ada ruang dialogis untuk mengantarkan cakrawala berpikir peserta didik.
Paulo Freire mengatakan Tidak ada Pendidikan yang netral. Pendidikan adalah Tindakan politik yang harus membebaskan. Selaras dengan apa yang dikatakan olehnya bahwa “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia. Manusialah yang mengubah dunia”.
Ki Hadjar Dewantara (KHD) menjelaskan pendidikan menuntun anak-anak agar mereka dapat mencapai potensi terbaik mereka. KHD mengenai hakikat pendidikan adalah tuntunan. Artinya, mendidik bermakna menuntun bukan mengisi.
Pada umumnya pembelajaran di Tingkat Sekolah dasar dan sekolah Tingkat pertama menggunakan kemampuan berpikir Tingkat dasar atau rendah (Lower order thinking), hanya menggunakan kemampuan yang bersifat mekanis dan terbatas pada hal-hal rutin.
Peran guru sangat dominan Ketika berada di kelas dalam mengorganisasi pembelajaran di kelas, semestinya ada keseimbangan dalam prosesnya. Semisal mengajak peserta didik untuk dapat berpikir atas kondisi kekinian (sesuai topik/materi ajar) ataupun tentang alam dan lingkungan sekitar, mengajak bermain dan berpikir, agar nalar dan logikanya ikut berselanjar secara baik.
Hasil PISA Tahun 2018 siswa Indonesia hanya bisa menjawab materi level 1-3 saja (Lower order thinking Skils), sementara siswa negara lain sudah sampai level 4-6 (Higher Order Thinking Skils).
Higher Order Thinking Skils (HOTS)
Keterampilan berpikir Tingkat tinggi (HOTS) mencakup berpikir kritis, berpikir kreatif, problem solving dan membuat Keputusan (lewis & Smith, 1993). Misalnya menurut Ridwan Abdullah “untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, siswa harus mampu menganalisis permasalahan, memikirkan alternatif Solusi, menerapkan strategi penyelesaian masalah, serta mengevaluasi metode dan Solusi yang diterapkan”.
Keterampilan berpikir Tingkat tinggi juga selaras dalam rangka menunjang metode project based learning (PJBL) adalah yang umum digunakan dalam pemblajaran Science, Technology, Enggineering, & Mathematics (STEAM) sejak tahun 1990 sudah di perkenalkan oleh Amerika Serikat, melalui National Sciene Foundation (NSF). Pengintegrasian STEM boleh di jalankan pada semua jenjang Pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai universitas, karena aspek pelaksanaan STEM seperti kecerdasan, kreativitas, dan kemampuan design tidak tergantung pada usia peserta didik (Ridwan Abdullah, 2019 hal.61).
Project based learning menekankan pada kemampuan peserta didik untuk dapat memecahkan sebuah topik masalah, melalui kelompok ataupun kegiatan yang dilaksanakan dalam bentuk project.
Menuntun peserta didik untuk dapat menganalisa topik yang harus di pecahkan secara Bersama, mengidentifikasi melalui sumber-sumber seperti buku, internet, diskusi, panduan dari guru dengan metode yang menyenangkan.
Misal project menggambar mural di dinding sekolah, peserta didik diminta untuk membuat tema gambar yang berbeda dari masing-masing kelompok. Kemudian menyiapkan konsep dan sketsa gambar, lalu menyiapkan perlengkapan untuk membuat gambar agar terlihat estetik sesuai dengan besaran dinding yang ingin di mural, selain pemilihan warna menjadi penting untuk di putuskan.
Peserta didik kesehariannya memang di hadapkan dengan persoalan baru, khususnya ilmu pengetahuan baru yang di dapat di kelas dan lingkungan sosial. Dengan demikian problematika masalah tidak dapat di hindari oleh peserta didik di satuan Pendidikan dan lingkungan sosialnya.
Sewajarnya kita berupaya mengenalkan kepada peserta didik belajar menyelesaikan masalah melalui metode pemecahan masalah secara kreatif, saat ini banyak orang sudah mengintegrasikan pendekatan kreativitas dalam penyelesaian masalah sehingga dikenal istilah (Creative Problem Solving).
Untuk dapat menyelesaikan masalah secara kreatif Langkah pertamanya menganalisis lingkungan dan mengenal masalah, Langkah selanjutnya adalah mengeksplorasi masalah setelah melakukan eksplorasi dan menemukan definisi permasalahan yang sebenarnya, siswa perlu belajar menentukan kondisi yang diharapkan.
Setelah menetapkan kondisi yang di harapkan seacara tepat, maka siswa dapat menggunakan diagram Duncker untuk membantu memperoleh Solusi mencapai kriteria yang di tetapkan (Ridwan abdullah, 2019).
Meskipun hal ini harus di biasakan dalam setiap materi ajaran yang di berikan oleh guru, hingga peserta didik terbiasa berhadapan dengan masalah-masalah yang di hadapi baik yang kecil maupun masalah yang komplek.
Hingga mereka siap untuk terjun ke dunia yang saat ini membutuhkan soft skils selain hard skils yang mereka miliki.
Ditulis oleh : Ahmad Syailendra, S.Sos (Kepala Sekolah SMPM 2 Tangerang Ciledug)