Serang – Apresiasi, harapan dan doa bergemuruh di dunia maya dan dunia nyata, saat Almuktabar dipanggil Mendagri dan menerima Kepres No. 39/P Tahun 2023 tentang Perpanjangan Masa Jabatan, Pemberhentian dan Pengangangkatan Penjabat Gubernur, yang salah satu diktumnya memperpanjang masa jabatan Almuktabar sebagai Pj. Gubernur Banten, pada Jumat sore (12/05/23).
Tulisan ini adalah narasi singkat, apa dan bagaimana dinamika sebelum dan menjelang tanggal 12 Mei serta sekilas rekam jejak Pj. Gubernur dalam setahun kebelakang, berdasarkan endapan memori dan interaksi singkat dengan beliau sebelum dan setelah saya ditugasi menjadi Sekdis Kominfo Statistik dan Persandian Pemprov Banten.
Dalam tulisan sebelumnya, yang berkonten reportase (Reformasi birokrasi dan pembangunan Banten), saya telah mengintrodusir bahwa apa yang dilakukan Pj. Gubernur Almuktabar (dalam persepsi saya) merupakan analog pola tindak Antasena atau Bima atau Arya Wrekudara.
Telah menjadi kelaziman dalam pagelaran wayang golek mementaskan kisah berbagai pakem, yang salah satunya bersumber dari Serat Dewa Ruci, yang secara singkat diceritakan : Antasena, menyelam ke dasar lautan untuk mencari dan menemukan ‘air kehidupan’, semakin dalam menyelam, semakin kuat resistensi arus air, berbagai rintangan menghantam, hingga dia tak sadarkan diri.
Ketika Antasena membuka mata, ia melihat mahluk kecil yang sama persis dengan dirinya yaitu Dewa Ruci, kemudian Antasena masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci dan ia menemukan berbagai hal sehingga mengerti hakikat, problematika dan solusi kehidupan.
Pencarian Antasena atas ‘air kehidupan’ bukan tanpa sebab, tetapi bentuk kesadaaran etis, tanggungjawab moral dan panggilan sejarah untuk men-take over pembangunan Astinapura dari Kurawa, sesuai amanat Sang Hyang Murbeng Alam.
Apapun dan bagaimanapun alur cerita pewayangan, secara substantif (pakem) merupakan deskripsi dan hegemoni bipolarisasi komunitas aktor besar, yaitu Pandawa (berjumlah lima inklud Antasena) sebagai perlambang dan refresentasi kebenaran, keadilan, kesabaran, keteguhan dan ketaatan dalam menjalani cakra manggilingan, prosesi kehidupan manusia dengan berbagai dinamika fisik, psikologis dan spiritualitasnya.
Komunitas aktor besar lainnya adalah Kurawa (berjumlah seratus) sebagai perlambang dan refresentasi keserakahan, keculasan, kedengkian, ambisi dan karakter negatif lainnya.
Kisah Antasena ini, saya transformasikan dalam konteks kepemimpinan Pj.Gubernur Al Muktabar sebagai analogi untuk memotret pola tindak dan kebijakan dalam mengelola Pemprov Banten satu tahun ke belakang. Tangkapan potret tersebut merupakan hasil interaksi intensif dengan beliau, setelah pelantikan pejabat (02/05/23).
Pola tindak dan kebijakan tersebut berupa: Pertama, Pj. Gubernur Banten Al Muktabar, menerabas kultur birokrasi yang berjenjang, menggunting protokoler, berbicara dengan media tanpa perantara (juru bicara), berlalu lintas melaksanakan tugas tanpa pengawalan, seolah kebal kritik (bahkan dianggap anti kritik), bekerja sendiri, membedah secara analitis atas kebijakan yang akan ditetapkan, tekanan arus kepentingan yang dihiraukannya, adalah analog dengan Antasena yang menyelam ke dasar laut.
Artinya, semua itu dilakukan untuk mengetahui anatomi permasalahan, hambatan, tantangan dan rintangan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan secara fundamental serta pembuktian bahwa dirinya menolak, didikte atau difreming para pemilik kepentingan.
Beliau menyadari bahwa, (sekecil apapun) kekuasaan adalah magnet yang menyedot partikel-partikel kepentingan. Interaksi magnet (kekuasaan) dan partikel (kepentingan), bila tidak dikelola sesuai norma, akan menimbulkan anomali (tidak berdampak kepada masyarakat, korupsi dan oligarki).
Kedua Pj. Gubernur Banten Almuktabar, menerapkan strategi komunikasi Verbal dan Nonverbal. Komunikasi verbal dilakukan dengan atau saat mengunjungi masyarakat ke berbagai pelosok untuk mengetahui dan merasakan denyut nadi aspirasi pembangunan mereka, menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahaan dan meningkatkan capaian pembangunan dengan grafik dan indek yang positif.
Grafik dan indek posistiif ini adalah jawaban dan bentuk komunikasi nonverbal (Serpihan empiris hasil komunikasi verbal dan non verbal serta capaian pembangunan meliputi bidang pemerintahan, bidang pedidikan, bidang kebencanaan, bidang kesehatan, serta bidang kemasyarakatan/keagamaan dalam setahun ke belakang, dikolekting dalam seribu halaman buku, yang akan dilaunching oleh Pj. Gubernur Banten Almuktabar, dalam waktu dekat ini) yang digunakan dalam menghadapi intrik internal dan gempuran kritik serta manuver berbagai elemen masyarakat dari seratus penjuru.
Namun, komunikasi nonverbal dan isarat simbolik, ‘sulit dipahami’ oleh sebagian kalangan internal maupun eksternal Pemprov, bahkan dimaknai ‘kebisuan, elitis, jumawi, tidak etis, gagal membangun dan term sejenisnya’.
Kegagalan memaknai ini, akibat keterbatasan kapasitas intelektual, pemahaman, dan impulsivitas kepentingan serta kanalisasi vested interest group, terutama menjelang tanggal 12 Mei sebagai deadline masa jabatan Pj.Gubernur tahun kedua.
Fakta hukum dan politik membuktikan, kekagalan memaknai dan kanalisasi vested interest group, tak membuat Pj. Gubernur Almuktabar semaput, apalagi tumbang, justru beliau tetap kukuh (= seratus kali lebih kokoh dari kokoh).
Kristalisasi ke-kukuh-an itu mengejawantah dalam Kepres tersebut di atas, sebagai mandatori Presiden dan masyarakat kepada Pj. Gubernur Banten Almuktabar untuk meneruskan pembangunan Banten setahun mendatang (dengan demikian, tidak berlebihan, bila saya menisbatkan Pj. Gubernur Almuktabar dengan Antasena).
Jiwa besar Pj. Gubernur Almuktabar (patut jadi teladan), yang tidak menuding ‘rumasa bisa tapi teu bisa rumasa’ atau ‘teu ka agehan berkat’ terhadap sikap berbagai elemen masyarakat yang meminta dirinya diganti atau mengaggap gagal, justru dimaklumi dan dipahaminya: bukan sebagai ungkapan kebencian, tetapi manifetasi kerinduan mereka terhadap Banten. Kebencian dan kerinduan berasal dari akar yang sama, yaitu Cinta.
Pj. Gubernur Almuktabar, saya, anda dan kita semua, men-Cinta-i Banten sesuai posisi dan peran masing-masing dalam freming filosofi : Gawe kuta baluwarti, bata kalawan kawis, dalam makna semantik maupun heurmenetik, untuk mewujudkan Provinsi Banten yang Baldatun thoyyibatun warobun ghofur atau gemah ripah loh jinawi tatatentrem kertaraharja.
Hayu cantelan, sasalaman, jeung rarangkulan untuk mengawal, mengingatkan dan bergotong royong dalam masa kepemimpinan Pj. Gubernur Almuktabar setahun ke depan, untuk mewujudkan harapan dan cita-cita masyarakat Banten ditengah panasnya suhu politik menjelang Pileg, Pilkada dan Pilpres serta panasnya suhu udara akibat anomali cuaca, seperti yang diamanatkan Presiden melalui Mendagri.
Hasbunallah wanimal wakil, wala haula walla quwwata illa billahil aliyyil adzim.
[red]