JAKARTA, – Ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan pula masa menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara yang berdasar pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Demikian bunyi pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (30/11/2022).
Terhadap permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan ini, Suhartoyo menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tersebut tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Sebab adanya pembedaan atas kedua norma tersebut berakibat pada disharmonisasi pemberlakuan norma terhadap subjek hukum yang memiliki tujuan yang sama untuk dipilih dalam pemilihan.
Pembedaan syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah bagi mantan terpidana tersebut dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara. Senada dengan hal ini, perbedaan secara faktual dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” sejatinya tidak lagi selaras dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
“Oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Suhartoyo dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Bahan Pertimbangan Bagi Calon Pemilih
Persyaratan atas adanya keharusan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya tersebut, Mahkamah menyatakan hal demikian perlu dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, sambung Suhartoyo, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum.
“Hal ini terpulang pula kepada rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak untuk memberikan suaranya kepada calon tersebut. Sementara itu untuk pengisian jabatan melalui pemilihan, pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya,” sebut Suhartoyo.
Menghadirkan Pemimpin Berintegritas
Selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang, Suhartoyo mengatakan apabila terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi serta membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat dan ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama khususnya kasus korupsi, sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Maka demi melindungi kepentingan yang lebih besar, atas hadirnya pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Selain itu, demi memberikan kepastian hukum dan mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.
“Oleh karena itu, terhadap norma a quo harus diselaraskan dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXVII/2019,” sebut Suhartoyo.
Untuk itu, dalam Amarnya, Mahkamah memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. “Menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana apabila dirumuskan selengkapnya berbunyi: (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang,” tandas Ketua Pleno Anwar Usman membacakan amar.
Sebagai informasi, menurut Pemohon ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu pada frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan UUD 1945. Frasa tersebut mengindikasikan bentuk pengecualian dari narapidana yang dipidana 5 tahun atau lebih yang dapat mencalonkan diri sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Sehingga ketentuan tersebut berpotensi memberi celah bagi mantan koruptor yang sedang menjalani pencabutan hak politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang mewakili kepentingan masyarakat. Padahal Pemohon melihat caleg yang tidak berintegritas tersebut akan menambah masalah di parlemen, baik di pusat maupun daerah. Sebab, mereka hanya akan menularkan bibit korupsi pada anggota legislatif lainnya atau dapat saja mereka mengulang praktik berkorupsi yang pernah dilakukan sebelumnya. (Ris)