Serang – Pasca cuti bersama perayaan idul fitri 1444 dan bertepatan dengan apel peringatan hari pendidikan nasional (02/05.23) di halaman Sekretariat Daerah Provinsi Banten, di pagi hari cerah dan diiringi hembusan angin sepoy-sepoy, beredar kabar bahwa sore hari nanti akan ada pelantikan pejabat pemerintah Provinsi Banten (Pemprov).
Gemuruh peserta sebelum apel, terdengar kearah aksesi validitas informasi tersebut dan selembar undangan berikut lampiran daftar nama tanpa keterangan ‘siapa menduduki jabatan apa’ beredar dari contact person para kepala OPD ke Kasubag Umpeg instansi terakit untuk diteruskan kepada nama-nama yang terdaftar.
Imajinasi liar dalam frame harapan dan kecemasan mendobrak hati dan pikiran ASN semua aparatur Pemprov yang berstatus Plt akibat perubahan nomenklatur jabatan, karena ada beberapa kemungkinan, yakni pengukuhan dari ‘pelaksana tugas (Plt) jabatan sebelumnya’ atau mutasi horizontal, promosi atau bahkan demosi.
Selepas duhur hingga sore harinya, silhuet informasi tersebut membentuk kontruksi lengkap dan jelas dengan aneka warna : siapa menduduki jabatan apa sekaligus pelantikan dan sumpah jabatan sebanyak 478 orang.
Pelantikan itu ‘dianggap mendadak’, padahal Pj. Gubernur Almuktabar telah menggodok rotasi, mutasi dan promosi tersebut melelui istikharah birokrasi yang panjang sejak awal Januari lalu, dengan memprofiling aparatur, kelengkapan berkas dan prosesi administrasi pemerintahan yang hati-hati, teliti, meminta serta mendengar saran, pendapat dan masukan dari para pihak yang ‘bebas kepentingan’ sebagai manifestasi demokratisasi substantif dalam penataan birokrasi (Martin Albrow, 2005).
Sebuah strategi kebijakan elegan seolah menggunakan strategi perang Sun Tzu ‘menyerang musuh dengan tiba-tiba` (Wee Chow Hou, dkk, 1993), musuh yang dimaksud adalah para mafia jabatan yang profit takking dalam setiap event seperti itu, kapanpun dan dimanapun.
Strategi ini menghasilkan kemenangan berupa reformasi birokrasi yang akuntabel dan melayani dalam platform ‘birokrasi berdampak’ yang selalu digaungkan ditelinga, pikiran dan hati para aparatur Pemprov Banten.
Namun Pj, Gubernur menyadari bahwa sebuah kebijakan dengan strategi sehebat apapun, tetap memiliki celah kelemahan, maka katup pengamannya telah disampaikan dalam sambutannya saat pelantikan, bahwa aparatur yang dilantik tersebut akan di evaluasi pertiga bulan, artinya bila dalam tenggang waktu itu aparatur yang bersangkutan tidak membuktikan progres kinerja, akan diingatkan bahkan disanksi.
Tentu evaluas dan sanksii tersebut, bukan subyektivitas Pj. Gubernur, tetapi hasil pengukuran kinerja dan agregasi semua pihak : atasan, bawahan dan masyarakat Banten.
Reformasi birokrasi sangat vital dan mendesak dalam mensuport dan menggerakan roda pemerintahan Pemrov yang dalam setahun ke belakang, Pj. Gubernur tidak mengelola Pemrov dari atas ‘singgasana’, ‘tuduh curuk’ atau hanya menerima laporan staf, tetapi menyelami lautan birokrasi dan pembangunan hingga ke dasarnya seorang diri, untuk menemukan, mitigasi dan treatmen atas hambatan, tantangan dan rintangan pembangunan Banten, seperti Bima menyelami lautan luas untuk mencari dan menemukan ‘air kehidupan’ dalam kisah Serat Dewa Ruci (Imam Musbikin,2010).
Inilah filosofi atas sikap dan tindakan Almuktabar dibalik tirai kritik : one men show, tidak percaya bawahan, etika komunikasinya buruk, tidak ada progres pembangunan dan sejenisnya. Meski demikian, kritikan itu wajib diapresiasi dan sangat diperlukan sebagai antitesis dalam proses dialektika pembangunan Banten.
Reformasi birokrasi melalui mutasi rotasi dan promosi adalah soko guru akselarsi pembangunan prioritas untuk mengatasi stunting, kemiskinan ekstrim, pengangguran, pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi dan lainnya dalam sinergitas personal, kelembagaan dan program dengan stakeholders.
Akselerasi pembangunan mengejawantah dalam keberhasilan pengendalian inflasi per April 2023 berada pada 3,77 persen dibawah nasional yang mencapai 4,33 persen, pertumbuhan ekonomi triwulan I sebesar4,68 persen dibandingkan triwulan IV tahun 2022, angka pengangguran turun 0,56 persen dibandingkan sebelumnya.
Meski angka pengangguran sudah turun namun masih berada pada posisi teratas secara nasional, hal tersebut dapat dimaklumi karena beberapa hal, Pertama trend investasi industri barang/jasa bergeser dari padat karya ke padat modal berkorelasi dengan digitalisasi/robotisasi telah merduksi bahkan mengeliminasi (segmen tertentu) penyerapan tenagakerja, disamping setiap tahun lahir angkatan kerja baru lulusan SLTA.
Hal ini menjadi problem krodit semua provinsi yang memerlukan gotong royong OPD dan stakeholder dalam mengurai solusinya. Kedua, geostrategis Banten sebagai jembatan laut, udara dan darat, bufferzone DKI Jakarta dan Jabar sebagai kawasan industri, menjadi magnet bagi angkatan kerja dari luar untuk migrasi ke Banten dengan status pendatang baru ber-KTP Banten, terpotret sebagai pengangguran. dua arus besar angkatan kerja baru (lokal) dan migrasi ini menjadi kausa prima ledakan pengangguran di Banten.
Ketiga, para pencari kerja yang mengurus kartu kuning (yang dikeluarkan disnaker) sebagai kendali akurasi data, banyak yang tidak melaporkan saat yang bersangkutan telah bekerja, sehingga tetap tercatat belum bekerja. Keempat, keberhasilan akselerasi prioritas pembangunanakan mengalami kontraksi dalam bentuk dekonstruksi realitas yang digoreng kelompok kepentingan menjelang evaluasi setahun jabatan Pj. Gubernur yang di-breakdown melalui berbgai elemen : Ormas, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan ke level mahasiswa.
Tentu sangat disayangkan, gerakan mahasiswa yang legendaris sepanjang sejarah dunia sebagai gerakan moral dan bebas kepentingan, tersedot turbulensi polarisasi pro-kontra personaliti Pj. Gubernur Banten yang intens hingga 12 Mei atau penetapan Pj. Gubernur Banten. [red]