Artikel – Akhir akhir ini ramai di perbincangkan istilah “pagar laut” di daerah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, yang kemudian menjadi isu nasional dan ramai diberitakan di media massa dan media sosial.
Barisan bambu yang disusun rapih sepanjang 30,16 kilometer di perairan laut wilayah tersebut, pasalnya bertujuan untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman abrasi dan banjir rob. Namun, keberadaanya malah menarik perhatian berbagai pihak, salah satunya adalah konsultan pajak.
Sebagai seorang konsultan pajak, isu pagar laut sangat menarik untuk dikaji dan dikupas melalui pendekatan Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan, Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pada Bab I tentang ketentuan umum: konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdapat lima elemen utama yang harus dikaji.
Pertama adalah, bumi yang mencakup permukaan tanah dan tubuh bumi di bawahnya. Wilayah yang berada di pesisir pantai juga dapat dimasukkan dalam definisi bumi, karena daerah tersebut merupakan bagian dari tanah atau kawasan pesisir yang dimiliki oleh negara atau pihak tertentu.
Kedua, mengenai bangunan yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pada kenyataannya, pagar laut hanya menancapkan batangan bambu (kontruksi ringan) yang hanya bersifat sementara, mudah dilepas atau diganti, dan tidak memiliki fondasi permanen yang mengikatnya ke tanah. Oleh karena itu, pancang bambu tidak memenuhi kriteria bangunan karena sifatnya yang sementara dan tidak permanen.
Ketiga, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, atau nilai objek pajak pengganti. Untuk hal itu, bisa juga dikaitkan dengan UU PBB pasal pasal 3.1.c yang membahas “yang bukan objek PBB”.
Salah satu objek yang tidak termasuk dalam PBB merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
Jelas sekali bahwa kekayaan alam Indonesia meliputi laut, udara, dan tanah yang merupakan sumber daya yang sangat berharga dan menjadi bagian dari warisan bangsa yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau dijual-belikan secara bebas.
Artinya, dalam hal ini laut bukanlah objek yang bisa dijual secara langsung, tetapi dikelola melalui peraturan yang bertujuan untuk konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan keamanan ekosistem laut
Keempat, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) atau surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data tentang objek pajak yang dimiliki, seperti tanah dan bangunan, kepada dinas pajak yang berwenang. Di dalam SPOP berisi informasi penting seperti identitas wajib pajak dan data lainnya.
Kelima, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan kepada wajib pajak tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan data objek pajak yang telah dilaporkan dalam SPOP.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jika statement Point 3 (Objek) tidak terpenuhi maka Point 4 (SPOP) dan 5 (SPPT) tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan “laut”, sebagai kekayaan alam negara yang tidak dapat diperdagangkan, tidak memenuhi kriteria sebagai objek pajak dalam PBB.
Oleh karena itu, tanpa objek yang dapat dikenakan pajak (seperti tanah atau bangunan), maka tidak ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi, sehingga SPOP dan SPPT tidak perlu diterbitkan.
Kesimpulannya, pagar laut dalam konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah bahwa pagar laut yang umumnya terbuat dari bambu dan bersifat sementara, tidak memenuhi kriteria bangunan tetap. Laut sebagai kekayaan alam negara juga tidak dapat diperjualbelikan, sehingga tidak dapat dihitung menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Dengan demikian, tanpa adanya NJOP maka Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak akan diterbitkan, yang berakibat pada tidak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
Laut merupakan kekayaan alam yang sangat berharga milik bangsa Indonesia. Sebagai bagian integral dari ekosistem dan budaya, laut bukan hanya memberikan potensi ekonomi yang luar biasa, tetapi juga berfungsi sebagai penyeimbang alam yang harus dijaga dan dilestarikan.
Dengan pengelolaan yang bijaksana, laut Indonesia dapat menjadi sumber daya yang mendukung kesejahteraan rakyat, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan melindungi warisan bangsa untuk generasi mendatang. Laut Indonesia adalah aset negara yang perlu dikelola dengan penuh tanggung jawab untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Penulis : Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP – Anggota Departemen Pendidikan PP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadi penulis.
Sumber : ikpi.or.id